Tahun Pelajaran
2014/2015, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimplementasikan Kurikulum
2013 (K13) pada jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA sederajat di
tanah air. Kebijakan ini ditetapkan setelah melalui uji publik yang penuh pro
dan kontra. Apapun pro dan kontra itu, kehadiran K13 yang saya sebut
sebagai Kurikulum Cinta memberikan corak tersendiri pada wajah pendidikan di
negara kita. Yang jelas, kurikulum ini bertujuan mengubah pola dan muatan
materi pembelajaran di kelas-kelas kita. Salah satu pola dan materi
pembelajaran itu adalah muatan sastra yang terangkum dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia.
Keluhan dan kritikan tentang kurangnya konten sastra dalam kurikulum terdahulu sering diperbincangkan. Kritikan tersebut selalu muncul dari kalangan sastrawan. Hal ini memperkuat bukti bahwa sastrawan tidak dilibatkan dalam perumusan muatan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia. Ini berarti muatannya lebih mengutamakan aspek bahasa. Padahal, bahasa merupakan media untuk melahirkan sastra. Tidak semua teori bahasa dapat disepadankan dengan praktik sastra. Yang lebih baik, pembelajaran bahasa berbasis (karya) sastra. Artinya, sastra sebagai modal dalam pembelajaran bahasa Indonesia, bahkan bisa juga diterapkan ke mata pelajaran lain. Nah, kritikan sastrawan sebenarnya bisa menjadi dasar utama persoalan pembelajaran bahasa dan sastra di tanah air.
Keluhan dan kritikan tentang kurangnya konten sastra dalam kurikulum terdahulu sering diperbincangkan. Kritikan tersebut selalu muncul dari kalangan sastrawan. Hal ini memperkuat bukti bahwa sastrawan tidak dilibatkan dalam perumusan muatan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia. Ini berarti muatannya lebih mengutamakan aspek bahasa. Padahal, bahasa merupakan media untuk melahirkan sastra. Tidak semua teori bahasa dapat disepadankan dengan praktik sastra. Yang lebih baik, pembelajaran bahasa berbasis (karya) sastra. Artinya, sastra sebagai modal dalam pembelajaran bahasa Indonesia, bahkan bisa juga diterapkan ke mata pelajaran lain. Nah, kritikan sastrawan sebenarnya bisa menjadi dasar utama persoalan pembelajaran bahasa dan sastra di tanah air.
Sastra secara spesifik
dinilai patut termaktub dalam pembelajaran. Kepatutan konten sastra dalam
pembelajaran memiliki alasan tersendiri. Alasan ini berkaitan dengan aspek
karakter humanistis. Bukankah salah seorang sahabat Rasulullah, Umar bin
Khattab, pernah berpesan agar kita mengajarkan sastra kepada anak-anak?
Menurutnya, sastra bisa menumbuhkan budi pekerti yang halus kepada anak-anak
kita. Bahkan, sastra bisa membentuk keberanian (positif) pada diri generasi.
Selain itu, sastra mengandung khazanah tunjuk ajar yang mampu membentuk
kepribadian luhur pada diri manusia. Salah besar jika penguasa atau pemimpin
negeri memandang (seni) sastra dengan sebelah mata. Pembelajaran tanpa
keseimbangan nilai-nilai seni bisa melahirkan generasi robot dan psikopat,
generasi kaku dan tawar dengan aspek humanistis.
Kurikulum 2013 lebih
menekankan pada pembentukan sikap/afektif. Untuk pembentukan sikap ini, hanya
aspek-aspek seni yang mampu menjangkaunya. Sikap hanya akan terjangkau dengan
seni matematika, seni kimia, seni fisika, dan seterusnya. Nah, karena itu aspek
sastra menjadi sesuatu yang mutlak disuguhkan kepada generasi melalui
pendidikan di kelas. Kehadiran kurikulum baru yang pro- dan kontra- ini
ternyata memberikan peluang tersendiri bagi konten sastra. Meskipun tidak semua
(juga tidak mungkin untuk semua) konten pembelajaran bahasa Indonesia adalah
sastra, tetapi peluang konten pembelajaran sastra memiliki ruang yang luas.
Artinya, setiap kompetensi dasarnya sangat memungkinkan diajarkan dengan sastra
sebagai dasarnya. Materi pembelajaran bahasa Indonesia di dalam kurikulum ini
dapat kita pahami sebagai berikut. Materi kelas 7, yaitu teks hasil observasi;
kelas 8 teks cerita moral/fabel, cerita prosedur, biografi; kelas 9 teks
eksemplum; kelas 10 teks anekdot, eksposisi, laporan hasil observasi, teks
prosedur, teks negosiasi; kelas 11 teks cerpen, pantun, dan cerita ulang,
film/drama; kelas 12 teks cerita sejarah, teks berita, teks iklan, teks
editorial/opini, dan teks novel. Sementara itu di kelas 1-6, siswa lebih
difokuskan pada pembelajaran tematik. Yang perlu menjadi catatan di sini adalah
tentang kemanfaatan materi cerita ulang di kelas 11.
Konsep pembelajaran
yang menyenangkan selalu mencuat dalam dunia pendidikan. Konsep ini
berorientasi pada interaksi edukatif antara guru dan siswa. Sebagai orientasi
interaksi edukatif, praktik dari konsep ini dinilai mampu mewujudkan proses dan
hasil belajar yang maksimal. Semua guru mata pelajaran disarankan mendesain
pembelajaran yang menyenangkan, termasuk guru mata pelajaran bahasa Indonesia.
Pembelajaran yang menyenangkan bisa diterapkan dari beberapa aspek. Pertama,
penerapan model pembelajaran; Kedua, variasi metode pembelajaran; Ketiga,
pendekatan dan teknik pembelajaran; Keempat, pemilihan media yang sesuai;
Kelima, seni mengajar dari guru yang bersangkutan, termasuk kemampuan mengelola
kelas dan penguasaan materi pembelajaran bahasa (sastra) indonesia.
Keberadaan kemampuan
guru bahasa Indonesia di dalam Kurikulum 2013 perlu mendapat perhatian lebih.
Selain kemampuan berbahasa, guru juga dituntut memiliki kemampuan bersastra.
Kemampuan guru bukan cuma cakap berinteraksi, tetapi juga berkonsentrasi pada
kreativitas, inovasi, dan memaksimalkan daya imajinasi. Ini sangat diperlukan
karena materi sastra sangat menuntut guru yang kreatif, inovatif, dan
imajinatif. Selain itu, guru bahasa Indonesia juga dituntut memiliki kemampuan
literasi sehingga mampu mengajak siswa membaca literasi. Jika hanya
mengandalkan materi dalam kurikulum, maka bangsa ini akan semakin buta
literasi. Taufik Ismail dalam penelitiannya menyatakan, jumlah buku wajib baca
pada siswa SMA di Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu 0 buku. Dalam
kaitannya dengan penerapan kurikulum ini, sastrawan Indonesia ini juga
menekankan pentingnya pembelajaran sastra yang menyenangkan. Padahal, bangsa
yang besar adalah bangsa yang multi-literasi.
Kita perlu pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih menyenangkan dan
merindukan, sehingga ketika pelajaran bahasa Indonesia, siswa dapat antusias
belajar dengan baik, ujarnya. Kita perlu meniru bangsa Rusia yang sejak
dini telah mencintai sastra. Di sana, siswa SMA sudah membaca buku 500 halaman
lebih karangan sastrawan Rusia terkenal, yaitu Leo Tolstoy, tambahnya. Dari pengalaman sebagai pendidik,
perpustakaan sekolah kita sangat miskin akan literasi sebagai bahan
rujukan/bacaan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang entah sejak
kapan masih belum bangun.
Kurikulum memang suatu
pedoman dan media dalam pembelajaran. Sehebat apapun materi kurikulum (bahasa
Indonesia, akan mati di tangan gurunya. Guru bahasa Indonesia merupakan
aktor sentral dalam pembelajaran yang menyenangkan. Materi bahasa (sastra)
Indonesia yang tertuang di dalam kurikulum akan menjadi sangat bermakna di
tangan guru-guru bahasa Indonesia yang kreatif, inovatif, dan imajinatif. Guru
yang demikian akan terus berimprovisasi dalam pembelajaran bahasa (sastra) yang
menyenangkan, hidup, dan kaya ilmu.
Multy vurba
BalasHapusXII MIPA 2
Vina Agustina
BalasHapusXII MIPA 4
Annisa SN
BalasHapusXII MIPA 2