Senin, 24 September 2018

Pembelajaran sastra Sebagai media Penanaman Karakter


Tahun Pelajaran 2014/2015, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 (K13) pada jenjang pendidikan SD,   SMP, dan SMA sederajat di tanah air. Kebijakan ini ditetapkan setelah melalui uji publik yang penuh pro dan kontra. Apapun pro dan kontra itu,  kehadiran K13 yang saya sebut sebagai Kurikulum Cinta memberikan corak tersendiri pada wajah pendidikan di negara kita. Yang jelas,  kurikulum ini bertujuan mengubah pola dan muatan materi pembelajaran di kelas-kelas kita. Salah satu pola dan materi pembelajaran itu adalah muatan sastra yang terangkum dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
          Keluhan dan kritikan tentang kurangnya konten sastra dalam kurikulum terdahulu sering diperbincangkan. Kritikan tersebut selalu muncul dari kalangan sastrawan. Hal ini memperkuat bukti bahwa sastrawan tidak dilibatkan dalam perumusan muatan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia. Ini berarti muatannya lebih mengutamakan aspek bahasa. Padahal,  bahasa merupakan media untuk melahirkan sastra. Tidak semua teori bahasa dapat disepadankan dengan praktik sastra. Yang lebih baik,  pembelajaran bahasa  berbasis (karya) sastra. Artinya,  sastra sebagai modal dalam pembelajaran bahasa Indonesia, bahkan bisa juga diterapkan ke mata pelajaran lain. Nah,  kritikan sastrawan sebenarnya bisa menjadi dasar utama persoalan pembelajaran bahasa dan sastra di tanah air.

Sastra secara spesifik dinilai patut termaktub dalam pembelajaran. Kepatutan konten sastra dalam pembelajaran memiliki alasan tersendiri. Alasan ini berkaitan dengan aspek karakter humanistis. Bukankah salah seorang sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab, pernah berpesan agar kita mengajarkan sastra kepada anak-anak? Menurutnya, sastra bisa menumbuhkan budi pekerti yang halus kepada anak-anak kita. Bahkan, sastra bisa membentuk keberanian (positif) pada diri generasi. Selain itu, sastra mengandung khazanah tunjuk ajar yang mampu membentuk kepribadian luhur pada diri manusia. Salah besar jika penguasa atau pemimpin negeri memandang (seni) sastra dengan sebelah mata. Pembelajaran tanpa keseimbangan nilai-nilai seni bisa melahirkan generasi robot dan psikopat, generasi kaku dan tawar dengan aspek humanistis.

Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembentukan sikap/afektif. Untuk pembentukan sikap ini, hanya aspek-aspek seni yang mampu menjangkaunya. Sikap hanya akan terjangkau dengan seni matematika, seni kimia, seni fisika, dan seterusnya. Nah, karena itu aspek sastra menjadi sesuatu yang mutlak disuguhkan kepada generasi melalui pendidikan di kelas. Kehadiran kurikulum baru yang pro- dan kontra- ini ternyata memberikan peluang tersendiri bagi konten sastra. Meskipun tidak semua (juga tidak mungkin untuk semua) konten pembelajaran bahasa Indonesia adalah sastra, tetapi peluang konten pembelajaran sastra memiliki ruang yang luas. Artinya, setiap kompetensi dasarnya sangat memungkinkan diajarkan dengan sastra sebagai dasarnya. Materi pembelajaran bahasa Indonesia di dalam kurikulum ini dapat kita pahami sebagai berikut. Materi kelas 7, yaitu teks hasil observasi; kelas 8 teks cerita moral/fabel, cerita prosedur, biografi; kelas 9 teks eksemplum; kelas 10 teks anekdot, eksposisi, laporan hasil observasi, teks prosedur, teks negosiasi; kelas 11 teks cerpen, pantun, dan cerita ulang, film/drama; kelas 12 teks cerita sejarah, teks berita, teks iklan, teks editorial/opini, dan teks novel. Sementara itu di kelas 1-6, siswa lebih difokuskan pada pembelajaran tematik. Yang perlu menjadi catatan di sini adalah tentang kemanfaatan materi cerita ulang di kelas 11.

Konsep pembelajaran yang menyenangkan selalu mencuat dalam dunia pendidikan. Konsep ini berorientasi pada interaksi edukatif antara guru dan siswa. Sebagai orientasi interaksi edukatif, praktik dari konsep ini dinilai mampu mewujudkan proses dan hasil belajar yang maksimal. Semua guru mata pelajaran disarankan mendesain pembelajaran yang menyenangkan, termasuk guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran yang menyenangkan bisa diterapkan dari beberapa aspek. Pertama, penerapan model pembelajaran; Kedua, variasi metode pembelajaran; Ketiga, pendekatan dan teknik pembelajaran; Keempat, pemilihan media yang sesuai; Kelima, seni mengajar dari guru yang bersangkutan, termasuk kemampuan mengelola kelas dan penguasaan materi pembelajaran bahasa (sastra) indonesia.

Keberadaan kemampuan guru bahasa Indonesia di dalam Kurikulum 2013 perlu mendapat perhatian lebih. Selain kemampuan berbahasa, guru juga dituntut memiliki kemampuan bersastra. Kemampuan guru bukan cuma cakap berinteraksi, tetapi juga berkonsentrasi pada kreativitas, inovasi, dan memaksimalkan daya imajinasi. Ini sangat diperlukan karena materi sastra sangat menuntut guru yang kreatif, inovatif, dan imajinatif. Selain itu, guru bahasa Indonesia juga dituntut memiliki kemampuan literasi sehingga mampu mengajak siswa membaca literasi. Jika hanya mengandalkan materi dalam kurikulum, maka bangsa ini akan semakin buta literasi. Taufik Ismail dalam penelitiannya menyatakan, jumlah buku wajib baca pada siswa SMA di Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu 0 buku. Dalam kaitannya dengan penerapan kurikulum ini, sastrawan Indonesia ini juga menekankan pentingnya pembelajaran sastra yang menyenangkan. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang multi-literasi.  Kita perlu pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih menyenangkan dan merindukan, sehingga ketika pelajaran bahasa Indonesia, siswa dapat antusias belajar dengan baik,  ujarnya.  Kita perlu meniru bangsa Rusia yang sejak dini telah mencintai sastra. Di sana, siswa SMA sudah membaca buku 500 halaman lebih karangan sastrawan Rusia terkenal, yaitu Leo Tolstoy,  tambahnya. Dari pengalaman sebagai pendidik, perpustakaan sekolah kita sangat miskin akan literasi sebagai bahan rujukan/bacaan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang entah sejak kapan masih  belum bangun.

Kurikulum memang suatu pedoman dan media dalam pembelajaran. Sehebat apapun materi kurikulum (bahasa Indonesia,  akan mati di tangan gurunya. Guru bahasa Indonesia merupakan aktor sentral dalam pembelajaran yang menyenangkan. Materi bahasa (sastra) Indonesia yang tertuang di dalam kurikulum akan menjadi sangat bermakna di tangan guru-guru bahasa Indonesia yang kreatif, inovatif, dan imajinatif. Guru yang demikian akan terus berimprovisasi dalam pembelajaran bahasa (sastra) yang menyenangkan, hidup, dan kaya ilmu.

3 komentar: