Senin, 24 September 2018

Tentang Bahasa Indonesia


A.  KEDUDUKAN BAHASA INDOENSIA



Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting, yaitu:



1.    Sebagai Bahasa Nasional



Ikrar Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 berbunyi:



1. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku rbanagsa yang satu, bangsa Indonesia.

3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.



Kata „menjunjung‟ dalam KBBI antara lain berarti memuliakan, menghargai, dan menaati (nasihat, perintah, dan sebaginya.). Ikrar ketiga dalam Sumpah Pemuda tersebut menegaskan, bahwa para pemuda bertekad untuk memuliakan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Pernyataan tidak merupakan pengakuan “berbahasa satu”, tetapi merupakan pernyataan tekad kebahasaan yang menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia (Halim dalam Arifin dan Tasai, 1995: 5). Ini berarti pula bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.



2.    Sebagai Bahasa Negara



Sebagai bahasa Negara, kedudukan tersebut dikukuhkan sehari setelah kemerdekaan RI dikumandangkan atau seiring dengan diberlakukannya konstituasi Undang-Undang Dasar 1945. Bab XV Pasal 36 dalam UUD 1945 menegaskan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.







B.  FUNGSI BAHASA INDONESIA



Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:



1. Lambang kebanggaan kebangsaan



Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan serta rasa kebanggaan memakainya senantiasa kita bina.



2. Lambang identitas nasional



Pada fungsi ini, bahasa Indonesia kita junjung di samping bendera dan lambang Negara kita. Di dalam melaksanakan fungsi ini bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri pula sehingga ia serasi dengan lambang kebangsaan kita yang lain. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain.



3. Alat penghubung antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya



Berkat adanya bahasa nasional, kita dapat berhubungan satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan. Kita dapat bepergian dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain di tanah air kita dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat komunikasi.



4.      Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat. Di dalam fungsi ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu, dengan bahasa nasional itu kita dapat meletakkan kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah atau golongan.



Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:



1. Bahasa resmi kenegaraan



Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Termasuk ke dalam kegiatan-kegiatan itu adalah penulisan dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya, serta pidato-pidato kenegaraan.



2. Bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan



Pada fungsi kedua ini, bahasa Indonesia dijadikan sebagai pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.



3. Alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan



Di dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, melainkan juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan bahasanya.



4. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada fungsi ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Pada waktu yang sama, bahasa Indonesia kita pergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai social budaya nasional kita (Halim dalam Arifin dan Tasai, 1995: 11-12).







RAGAM BAHASA INDONESIA



A.  Pengertian Ragam Bahasa



Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990).



B. Jenis-Jenis Ragam Bahasa



1. Jenis-jenis Ragam Bahasa dari Segi Pemakaian



Dari segi pemakaian ragam bahasa dibagi menjadi 3 jenis yaitu: ( a) berdasarkan media (b) berdasarkan hubungan antarpembicara (c) berdasarkan topik pembicaraan.



a.  Ragam Bahasa Indonesia Berdasarkan Media



Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam bahasa terdiri dari: (1) Ragam bahasa lisan (2) Ragam bahasa tulis.

Ciri-ciri ragam lisan: (a) Memerlukan orang kedua/teman bicara; (b) Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu; (c)Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh. (d) Berlangsung cepat; (e) Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu; (f) Kesalahan dapat langsung dikoreksi; (g) Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi.



Contoh ragam lisan : (1) Nia sedang baca surat kabar. (2) Ari mau nulis surat.

Ciri-ciri ragam tulis: (a) Tidak memerlukan orang kedua/teman bicara; (b) Tidak tergantung kondisi, situasi & ruang serta waktu; (c) Harus memperhatikan unsur gramatikal; (d) Berlangsung lambat; (e) Selalu memakai alat bantu; (f) Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi; (g) Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya terbantu dengan tanda baca.



Contoh ragam tulis: (1) Nia sedang membaca surat kabar (2) Ari ingin menulis surat.



b. Ragam Bahasa Indonesia Berdasarkan Hubungan Antarpembicara



Menurut akrab tidaknya pembicara, ragam bahasa dibedakan dibedakan menjadi: 1) Ragam bahasa resmi, 2) ragam bahasa santai, 3) ragam bahasa akrab. 



c. Ragam Bahasa Indonesia Berdasarkan Topik Pembicaraan



Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek atau register.



Fungsiolek yaitu variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa.  Contoh ragam bahasa berdasarkan topik pembicaraan sebagai berikut:



1)   Ragam hukum: Dia dihukum karena melakukan tindak pidana

2)   Ragam bisnis:  Setiap pembelian di atas nilai tertentu akan diberikan diskon.

3)   Ragam sastra: Cerita itu menggunakan unsur flashback .

4)   Ragam kedokteran:  Anak itu menderita penyakit kuorsior .

5)   Ragam psikologi:  Penderita autis perlu mendapatkan bimbingan yang intensif.

6)    Ragam Olahraga: Hari ini PON XIX/2016 mulai memperebutkan medali emas.

7)   Ragam Bahasa Ilmiah: Ada dua jenis rokok, rokok yang berfilter dan tidak berfilter. Filter   pada rokok terbuat dari bahan busa serabut sintetis yang berfungsi menyaring nikotin



2. Jenis Ragam Bahasa Ditinjau dari Sudut Pandang Penutur



 Ragam bahasa ditinjau dari sudut pandang penutur dibedakan menjadi

a. ragam bahasa menurut daerah

b. ragam bahasa menurut pendidikan formal.

c. ragam bahasa menurut sikap penutur



Penjelasan:



a. Ragam Bahasa Menurut Daerah



Ragam bahasa menurut daerah dapat dibedakan menjadi dialek dan kronolek.  Dialek, yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu.  Misalnya, Bahasa Jawa dialek Bayumas, Pekalongan, Surabaya, dan lain sebagainya. Kronolek atau dialek temporal adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Contoh : Misalnya, bahasa Melayu masa kerajaan Sriwijaya berbeda dengan bahasa Melayu masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsji dan berbeda pula dengan bahasa Melayu Riau sekarang.



b. Ragam Bahasa Menurut Pendidikan Formal /Status Sosial



Ragam bahasa menurut pendidikan formal, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal (terpelajar) dan yang tidak. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya berpendidikan rendah.



Contoh Pengucapan kata film oleh orang berpendidikan/terpelajar [film]. Sedangkan pengucapan oleh orang yang tidak terpelajar [pilm].



Dalam ragam ini dikenal istilah Sosiolek, yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi bahasa ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan lain scbagainya.



c. Ragam Bahasa Menurut Sikap Penutur



Ragam ini dapat disebut langgam atau gaya berbahasa seseorang atau idiolek. Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasa atau idioleknya masing-masing. Idiolek bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak berbicara atau pembacanya. Sikapnya itu dipengaruhi, antara lain oleh umur dan kedudukan yang disapa, tingkat keakraban antarpenutur, pokok persoalan yang hendak disampaikannya, dan tujuan penyampaian informasinya.



3. Ragam Bahasa Berdasarkan Keformalan



a. Ragam Beku (Frozen)



Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan pada situasi-situasi hikmat, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah, dan sebagainya. Ciri ragam ini adalah cenderung tetap.



b. Ragam Resmi (Formal)



Ragam resmi adalah variasi bahasa yang biasa digunakan pada pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat, dan lain sebagainya. Lebih fleksibel



c. Ragam Usaha (Konsultatif)



Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi.



d. Ragam Santai (Casual)



Ragam santai adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat dan sebagainya.  Misalnya penggunaan kata sapaan mas, mbak.



e. Ragam Akrab (Intimate)



Ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan leh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Variasi bahasa ini biasanya pendek-pendek dan tidak jelas. Sapaan dab yg berarti mas di jogja











RAGAM BAKU DAN RAGAM TIDAK BAKU



Ragam baku dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Ragam baku memiliki kaidah-kaidah paling lengkap diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain.



Pemakaian ragam baku tercermin dalam situasi berikut ini.



1) Komunikasi resmi, yakni dalam surat-menyurat resmi, surat-menyurat dinas, pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi-instansi resmi, penamaan dan peristilahan resmi, perundang-undangan, dan sebagainya.

2) Wacana teknis, yakni dalam laporan resmi dan karya ilmiah.

3) Pembicaraan di depan umum, yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah, dan sebagainya.

4) Pembicaraan dengan orang yang dihormati.



Secara umum, fungsi bahasa baku adalah sebagai berikut.



Pemersatu, pemakaian bahasa baku dapat mempersatukan sekelompok orang menjadi satu kesatuan masyarakat bahasa.

Pemberi kekhasan, pemakaian bahasa baku dapat menjadi pembeda dengan masyarakat pemakai bahasa lainnya.

Pembawa kewibawaan, pemakai bahasa baku dapat memperlihatkan kewibawaan pemakainya.

Kerangka acuan, bahasa baku menjadi tolok ukur bagi benar tidaknya pemakaian bahasa seseorang atau sekelompok orang.

Sikap terhadap bahasa baku setidak-tidaknya mengandung tiga dimensi, yaitu (1) sikap kesetiaan bahasa, (2) sikap kebanggaan bahasa, dan (3) sikap kesadaran akan norma dan kaidah bahasa. Ketiga sikap tersebut terkait erat dengan keempat fungsi bahasa baku.


Pembelajaran sastra Sebagai media Penanaman Karakter


Tahun Pelajaran 2014/2015, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 (K13) pada jenjang pendidikan SD,   SMP, dan SMA sederajat di tanah air. Kebijakan ini ditetapkan setelah melalui uji publik yang penuh pro dan kontra. Apapun pro dan kontra itu,  kehadiran K13 yang saya sebut sebagai Kurikulum Cinta memberikan corak tersendiri pada wajah pendidikan di negara kita. Yang jelas,  kurikulum ini bertujuan mengubah pola dan muatan materi pembelajaran di kelas-kelas kita. Salah satu pola dan materi pembelajaran itu adalah muatan sastra yang terangkum dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
          Keluhan dan kritikan tentang kurangnya konten sastra dalam kurikulum terdahulu sering diperbincangkan. Kritikan tersebut selalu muncul dari kalangan sastrawan. Hal ini memperkuat bukti bahwa sastrawan tidak dilibatkan dalam perumusan muatan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia. Ini berarti muatannya lebih mengutamakan aspek bahasa. Padahal,  bahasa merupakan media untuk melahirkan sastra. Tidak semua teori bahasa dapat disepadankan dengan praktik sastra. Yang lebih baik,  pembelajaran bahasa  berbasis (karya) sastra. Artinya,  sastra sebagai modal dalam pembelajaran bahasa Indonesia, bahkan bisa juga diterapkan ke mata pelajaran lain. Nah,  kritikan sastrawan sebenarnya bisa menjadi dasar utama persoalan pembelajaran bahasa dan sastra di tanah air.

Sastra secara spesifik dinilai patut termaktub dalam pembelajaran. Kepatutan konten sastra dalam pembelajaran memiliki alasan tersendiri. Alasan ini berkaitan dengan aspek karakter humanistis. Bukankah salah seorang sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab, pernah berpesan agar kita mengajarkan sastra kepada anak-anak? Menurutnya, sastra bisa menumbuhkan budi pekerti yang halus kepada anak-anak kita. Bahkan, sastra bisa membentuk keberanian (positif) pada diri generasi. Selain itu, sastra mengandung khazanah tunjuk ajar yang mampu membentuk kepribadian luhur pada diri manusia. Salah besar jika penguasa atau pemimpin negeri memandang (seni) sastra dengan sebelah mata. Pembelajaran tanpa keseimbangan nilai-nilai seni bisa melahirkan generasi robot dan psikopat, generasi kaku dan tawar dengan aspek humanistis.

Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembentukan sikap/afektif. Untuk pembentukan sikap ini, hanya aspek-aspek seni yang mampu menjangkaunya. Sikap hanya akan terjangkau dengan seni matematika, seni kimia, seni fisika, dan seterusnya. Nah, karena itu aspek sastra menjadi sesuatu yang mutlak disuguhkan kepada generasi melalui pendidikan di kelas. Kehadiran kurikulum baru yang pro- dan kontra- ini ternyata memberikan peluang tersendiri bagi konten sastra. Meskipun tidak semua (juga tidak mungkin untuk semua) konten pembelajaran bahasa Indonesia adalah sastra, tetapi peluang konten pembelajaran sastra memiliki ruang yang luas. Artinya, setiap kompetensi dasarnya sangat memungkinkan diajarkan dengan sastra sebagai dasarnya. Materi pembelajaran bahasa Indonesia di dalam kurikulum ini dapat kita pahami sebagai berikut. Materi kelas 7, yaitu teks hasil observasi; kelas 8 teks cerita moral/fabel, cerita prosedur, biografi; kelas 9 teks eksemplum; kelas 10 teks anekdot, eksposisi, laporan hasil observasi, teks prosedur, teks negosiasi; kelas 11 teks cerpen, pantun, dan cerita ulang, film/drama; kelas 12 teks cerita sejarah, teks berita, teks iklan, teks editorial/opini, dan teks novel. Sementara itu di kelas 1-6, siswa lebih difokuskan pada pembelajaran tematik. Yang perlu menjadi catatan di sini adalah tentang kemanfaatan materi cerita ulang di kelas 11.

Konsep pembelajaran yang menyenangkan selalu mencuat dalam dunia pendidikan. Konsep ini berorientasi pada interaksi edukatif antara guru dan siswa. Sebagai orientasi interaksi edukatif, praktik dari konsep ini dinilai mampu mewujudkan proses dan hasil belajar yang maksimal. Semua guru mata pelajaran disarankan mendesain pembelajaran yang menyenangkan, termasuk guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran yang menyenangkan bisa diterapkan dari beberapa aspek. Pertama, penerapan model pembelajaran; Kedua, variasi metode pembelajaran; Ketiga, pendekatan dan teknik pembelajaran; Keempat, pemilihan media yang sesuai; Kelima, seni mengajar dari guru yang bersangkutan, termasuk kemampuan mengelola kelas dan penguasaan materi pembelajaran bahasa (sastra) indonesia.

Keberadaan kemampuan guru bahasa Indonesia di dalam Kurikulum 2013 perlu mendapat perhatian lebih. Selain kemampuan berbahasa, guru juga dituntut memiliki kemampuan bersastra. Kemampuan guru bukan cuma cakap berinteraksi, tetapi juga berkonsentrasi pada kreativitas, inovasi, dan memaksimalkan daya imajinasi. Ini sangat diperlukan karena materi sastra sangat menuntut guru yang kreatif, inovatif, dan imajinatif. Selain itu, guru bahasa Indonesia juga dituntut memiliki kemampuan literasi sehingga mampu mengajak siswa membaca literasi. Jika hanya mengandalkan materi dalam kurikulum, maka bangsa ini akan semakin buta literasi. Taufik Ismail dalam penelitiannya menyatakan, jumlah buku wajib baca pada siswa SMA di Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu 0 buku. Dalam kaitannya dengan penerapan kurikulum ini, sastrawan Indonesia ini juga menekankan pentingnya pembelajaran sastra yang menyenangkan. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang multi-literasi.  Kita perlu pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih menyenangkan dan merindukan, sehingga ketika pelajaran bahasa Indonesia, siswa dapat antusias belajar dengan baik,  ujarnya.  Kita perlu meniru bangsa Rusia yang sejak dini telah mencintai sastra. Di sana, siswa SMA sudah membaca buku 500 halaman lebih karangan sastrawan Rusia terkenal, yaitu Leo Tolstoy,  tambahnya. Dari pengalaman sebagai pendidik, perpustakaan sekolah kita sangat miskin akan literasi sebagai bahan rujukan/bacaan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang entah sejak kapan masih  belum bangun.

Kurikulum memang suatu pedoman dan media dalam pembelajaran. Sehebat apapun materi kurikulum (bahasa Indonesia,  akan mati di tangan gurunya. Guru bahasa Indonesia merupakan aktor sentral dalam pembelajaran yang menyenangkan. Materi bahasa (sastra) Indonesia yang tertuang di dalam kurikulum akan menjadi sangat bermakna di tangan guru-guru bahasa Indonesia yang kreatif, inovatif, dan imajinatif. Guru yang demikian akan terus berimprovisasi dalam pembelajaran bahasa (sastra) yang menyenangkan, hidup, dan kaya ilmu.