Tentu merupakan pengalaman yang
menyenangkan kalau kita membaca novel. Kita dapat menceritakan kembali jalan
ceritanya, tokoh-tokohnya, konflik yang terjadi antartokohnya. Novel merupakan
karya sastra yang berbentuk prosa yang berisi tentang sekelumit kehidupan manusia.
Novel merupakan karya prosa fiksi yang panjang, mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku ( Depdikbud, 1997 : 694).
Unsur-unsur novel atau cerpen
1. Penokohan
Tokoh merupakan individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh
pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda
yang diinsankan (Panuti Sudjiman, 1988:16). Tokoh merupakan bagian atau unsur
dari suatu kebutuhan artistik yaitu karya sastra yang harus selalu menunjang
kebutuhan artistik itu, Kennye dalam Panuti Sudjiman (1966:25). Penokohan dalam
cerita rekaan dapat diklasifikasikan melalui jenis tokoh, kualitas tokoh,
bentuk watak dan cara penampilannya. Menurut jenisnya ada tokoh utama dan tokoh
bawahan. Yang dimaksud dengan tokoh utama ialah tokoh yang aktif pada setiap
peristiwa, sedangkan tokoh utama dalam peristiwa tertentu (Stanton, 1965:17).
Ditinjau dari kualitas tokoh, ada tokoh
yang berbentuk datar dan tokoh yang berbentuk bulat. Adapun tokoh yang
berbentuk datar ialah tokoh yang tidak memiliki variasi perkembangan jiwa,
karena sudah mempunyai dimensi yang tetap, sedangkan tokoh yang berbentuk bulat
ialah tokoh yang memiliki variasi perkembangan jiwa yang dinamis sesuai dengan
lingkungan peristiwa yang terjadi. Biasanya tokoh yang berbentuk datar itu pada
dasarnya sama dengan tokoh tipologis, dan tokoh yang berbentuk built disebut
tokoh psikologis. Dengan demikian tokoh tipologis juga berarti tokoh yang tidak
banyak mempersoalkan perkembangan jiwa atau tidak mengalami konflik psikis,
karena sudah mempunyai personalitas yang mapan. Sedangkan tokoh psikologis
adalah tokoh yang tidak memiliki persoanlitas yang mapan dan selalu dinamis
(Kuntowijaya dalam Pradopo dkk, 11984:91).
Jika dilihat dari cara menampilkan
tokohnya ada yang ditampilkan dengan cara analitik dan dramatik. Penampilan
secara anlitik adalah pengarang langsung memaparkan karakter tokoh, misalnya
disebutkan keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Sedangkan
penampilan yang dramatik, karakter tokohnya tidak digambarkan secara langsung,
melainkan disampaikan melalui; (1) pilihan nama tokoh, (2) penggambaran fisik
atau postur tubuh, dan (3) melalui dialog (Atar Semi, 1984:31-32).
Sering dapat diketahui bahwa cara
pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya dengan berbagi cara. Mungkin
cara pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya di alam mimpi,
pelaku memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku
memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun
pelaku egois, kacau dan mementingkan diri sendiri (Bouton dalam Aminuddin,
1984). Penyajian watak tokoh yang dihadirkan pengarang tentunya melahirkan
karakter yang berbeda-beda pula, antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung,
melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui menolong batin, melalui
tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain dan melalui
kiasan atau sindiran. Suatu karakter mestinya harus ditampilkan dalam suatu
pertalian yang kuat, sehingga dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian
tentang personalitas individualnya. Artinya, tindak-tindak tokoh tersebut
didasarkan suatu motivasi atau alasan-alasan yang dapat diterima atau
setidak-tidaknya dapat dipahami mengapa dia berbuat dan bertindak demikian
(Atar Semi, 1988:37-38).
2. Alur
Pengertian alur dalam cerita pendek atau
dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh
para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1987:83).
Alur atau plot adalah rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita, dimana
peristiwa tersebut sambung sinambung berdasarkan hukum sebab-akibat (Forster,
1971:93).
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai
sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam
keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1988:43-46). Alur merupakan kerangka dasar yang
amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu
sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain,
bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya
terikat dalam suatu kesatuan waktu.
Urutan peristiwa dalam karya sastra
belum tentu merupakan peristiwa yang telah dihayati sepenuhnya oleh pengarang,
akan tetapi mungkin hanya berasal dari daya imajinasi. Begitu pula urutan
peristiwa itu jumlahnya belum tentu sama dengan pengalaman yang dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, urutan peristiwa yang demikian tidak
lain hanyalah dimaksudkan untuk mendekatkan pada masalah yang dikerjakan
terhadap tujuan dalam karya sastra. Sehubungan dengan penjelasan tersebut di
atas menurut tasrif ada lima hal yang perlu diperhatikan pengarang dalam
membangun cerita, yaitu : (1) situation, yakni pengarang mulai melukiskan suatu
keadaan, (2) generating circumstances, yaitu peristiwa yang bersangkutan-paut,
(3) ricing action, keadaan mulai memuncak, (4) climax, yaitu peristiwa mencapai
puncak, dan (5) document, yaitu pengarang telah memberikan pemecahan persoalan
dari semua peristiwa. Dari kelima bagian tersebut jika diterapkan oleh
pengarang secara berurutan no 1-5, maka disebut sebagai alur lurus (progresif),
sedangkan apabila penerapan itu dimulai dari tengah atau belakang disebut
sebagai alur balik (regresif).
Di samping kedua bentuk alur tersebut,
ada pula alur yang disebut alur gabungan. Dalam alur ini dipergunakan sebagian
alur lurus dan sebagian lagi alur sorot balik. Meskipun demikian gabungan dua
alur itu juga dijalin dalam kesatuan yang padu, sehingga tidak menimbulkan
kesan adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah, baik waktu atau pun
tempat kejadiannya (Suharianto, 1982:29). Ditinjau dari padu tidaknya alur
dalam sebuah cerita, maka alur dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni alur
rapat dan alur renggang. Dalam alur rapat hanya tersaji adanya pengembangan
cerita pada satu tokoh saja, sehingga tidak timbul pencabangan cerita, akan
tetapi apabila ada pengembangan tokoh lain selain tokoh utama, maka terjadilah
alur renggang atau terjadi pencabangan cerita.
Dari beberapa batasan di atas jelas
masing-masing alur mempunyai keistimewaan sendiri. Alur lurus dapat memberikan
kemudahan bagi pembaca untuk menikmati cerita dari awal sampai akhir cerita.
Akan tetapi lain halnya dengan alur sorot balik (flash back). Alur ini dapat
mengejutkan pembaca, sehingga pembaca dibayangi pertanyaan apa yang terjadi
selanjutnya dan bermaksud apa pengarang menyajikan kejutan seperti itu. Dengan
demikian pembaca merasa terbius untuk membacanya sampai tuntas. Dikatakan alur
yang berhasil, jika alur yang mampu menggiring pembaca menyelusuri cerita
secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak ditinggalkan yang dianggap
tidak penting.
3. Latar
Menurut pendapat Aminuddin (1987:67),
yang dimaksud dengan setting/latar adalah latar peristiwa dalam karya fiksi
baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan
fungsi psikologis. Lebih lanjut Leo Hamalian dan Frederick R. Karel menjelaskan
bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa,
suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga dapat
berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka maupun
gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu. Setting
dalam bentuk terakhir ini dapat dimasukkan ke dalam setting yang bersifat
psikologis (Aminuddin, 1987:68).
Secara rinci Tarigan (1986:136) menjelaskan beberapa maksud dan tujuan
pelukisan latar sebagai berikut :
1)
Latar
yang dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan terang dan jelas serta
mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh
dan gerak serta tindakannya.
2)
Latar
suatu cerita dapat mempunyai relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan
dan arti umum dari suatu cerita.
3) Latar
mempunyai maksud-maksud tertentu yang mengarah pada penciptaan atmosfir yang
bermanfaat dan berguna.
Selain menjelaskan fungsi latar sebagai
penggambaran tempat (ruang) dan waktu, latar juga sangat erat hubungannya
dengan tokoh-tokoh cerita, karena tentangnya dapat mengekspresikan watak pelaku
(Wellek, 1962:221). Penggambaran latar yang tepat akan mampu memberikan suasana
tertentu dan membuat cerita lebih hidup. Dengan adanya penggambaran latar
tersebut segala peristiwa, keadaan dan suasana yang dilakukan oleh para tokoh
dapat dirasakan oleh pembaca.
4. Sudut Pandang
Cara pengarang menampilkan para pelaku
dalam cerita yang dipaparkannya disebut sudut pandang, atau biasa diistilahkan
dengan point of view (Aminuddin, 1987:90). Pendapat tersebut dipertegas
oleh Atar Semi (1988:51) yang menyebutkan istilah sudut pandang, atau point of
view dengan istilah pusat pengisahan, yakni posisi dan penobatan diri pengarang
dalam ceritanya, atau darimana pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang
terdapat dalam cerita itu.
Sudut pandang membedakan kepada pembaca, siapa menceritakan cerita, dan
menentukan struktur gramatikal naratif. Siapa yang menceritakan cerita adalah
sangat penting, dalam menentukan apa dalam cerita, pencerita yang berbeda akan
melihat benda-benda secara berbeda pula (Montaqua dan Henshaw, 1966:9).
Lebih lanjut Atar Semi (1988:57-58)
menegaskan bahwa titik kisah merupakan posisi dan penempatan pengarang dalam
ceritanya. Ia membedakan titik kisah menjadi empat jenis yang meliputi : (1)
pengarang sebagai tokoh, (2) pengarang sebagai tokoh sampingan, (3) pengarang
sebagai orang ketiga, (4) pengarang sebagai pemain dan narrator.
5. Gaya
Gaya adalah cara pengarang
menampilkannya dengan menggunakan media bahasa yang indah, harmonis serta mampu
menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca (Aminuddin, 1987:72). Hal demikian tercermin dalam cara pengarang
menyusun dan memilih kata-kata, tema dan dalam memandang tema atau persoalan,
tercermin dalam pribadi pengarangnya. Oleh Karena itu unsur cerita sebagaimana
tersebut di muka baru dapat sempurna apabila disampaikan dengan gaya tertentu
pula, karena gaya dalam karya sastra adalah bahasa yang dipergunakan oleh
pengarang (Suhariyanto, 1982:37).
Sehubungan dengan pembahasan ini pemberian gaya akan ditinjau melalui dua
sudut, yaitu gaya bahasa dan gaya bercerita, karena pengertian gaya umumnya
dapat dirumuskan sebagai cara pengarang menggambarkan cerita agar cerita lebih
menarik dan berkesan. Hal tersebut erat kaitannya dengan kemampuan pengarang
dalam penulisan cerita dengan penggunaan bahasa, karena cerita pada dasarnya
bermediakan bahasa.
5.1 Gaya Bahasa
Dalam persoalan gaya bahasa meliputi
semua herarhi kebahasaan yaitu pilihan kata secara individual, frase, klausa,
kalimat dan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan (Keraf, 1984:112). Pengembangan
bahasa melalui sastra dikatakan bersifat pribadi karena sastra itu sendiri
merupakan kegiatan yang pribadi dan perorangan, ia merupakan pengungkapan
apa-apa yang menjadi pilihan pribadinya, hasil seorang sastrawan melihat
lingkungannya dan memandang ke dalam dirinya. Atar Semi (1988:49) menyatakan
bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar
biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak jiwa penyair; juga membuat
bahasa yang digunakannya berbeda dengan makna dan kemesraannya. Dengan gaya
tertentu seorang pengarang dapat mengekalkan pengalaman rohaninya dan
penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik hati
pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari batin seorang pengarang, maka
gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak
langsung menggambarkan sikap dan karakteristik pengarang tersebut. Sedangkan
Muchin Ahmadi, dkk (1984:7) mendifinisikan gaya bahasa sebagai kenyataan
penggunaan bahasa (phenomena) yang istimewa dan tidak dapat dipisahkan dari
cara-cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman,
bidikan, nilai-nilai kualitas, kesadaran pikiran dan pandangannya yang
istimewa. Secara tentatif tetapi praktis gaya bahasa dapat dibatasi pengertian
dasarnya sebagai suatu pengaturan kata-kata dan kalimat-kalimat yang paling
mengekspresikan tema, ide, gagasan dan perasaan serta pengalaman pengarang.
Secara garis besar gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu : (1)
gaya bahasa perasosiasian pikiran, dan (2) gaya bahasa penegasan, penekanan dan
penguatan.
5.2 Gaya Berbicara
Pada dasarnya gaya bercerita juga
berperan penting bagi pengarang untuk menulis cerita, di samping gaya bahasa
yang dipergunakannya, karena pengertian gaya cerita atau gaya bahasa pada
umumnya dapat dijelaskan sebagai salah satu metode pengarang dalam melukiskan
cerita, sehingga cerita dapat menarik bagi pembaca.
Dalam penulisan cerita, biasanya setiap
pengarang mempunyai gaya yang lain daripada yang lain. Pengarang biasa
memperhatikan latar tepat atau waktu sebagai pembuka atau penutup cerita, akan
tetapi ada pula yang menekankan pada tokoh atau penokohannya. Oleh karena
cerita bermediakan bahasa, maka gaya bercerita erat kaitannya dengan bentuk
cerita yang ditumpukan dalam bentuk frase, kata, kalimat bahkan paragraf,
sehingga semuanya membentuk struktur wacana cerita (Ihsan, 1990:63).
6. Tema
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987:91),
tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih
lanjtu Brooks berpendapat seperti yang dikutip Aminudddin (1987:72), bahwa
dalam mengapresiasi suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu humanitas,
karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang
yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat
universal.
Tema sebagaimana pendapat Sudjiman (1988:51)
merupakan sebuah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang di
dukung oleh pelukisan latar, dalam karya yang lain tersirat dalam lakukan
tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan menjadi faktor yang mengikat
peristiwa-peristiwa dalam satu alur.
Tema sebagaimana pendapat-pendapat di
atas merupakan pemikiran pusat yang inklusif di dalam sebuah cerita (karya
sastra). Kedudukannya menyebar pada keseluruhan unsur-unsur signifikan karya
sastra. Tema tersebut ada yang dinyatakan dengan jelas, ada pula yang
dinyatakan secara simbolik atau tersembunyi (Scharbach, 1963:273). Aminuddin
(1987:92) merinci upaya pemahaman tema sebagai berikut:
1)
Memahami
setting dalam prosa fiksi yang dibaca
2)
Memahami
penokohan atau perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.
3)
Memahami
satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang
dibaca.
Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
4)
Menghubungkan
pokok pikiran-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari
satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.
5)
Menentukan
sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan.
6)
Mengidentifikasikan
tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran
serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya.
Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua
kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan.
Selain upaya pemahaman tema seperti di
atas, untuk memahami tema, seorang pembaca atau apresiator perlu juga memahami
latar belakang kehidupan yang diungkapkan pengarang lewat prosa fiksi yang
merupakan usaha pengarang dalam memahami keseluruhan masalah kehidupan yang
berhubungan dengan keberadaan seorang individu maupun dalam hubungan antara
individu dengan kelompok masyarakatnya.
Tugas 1
LKPD Interaktif Apresiasi Novel 1